Jumat, 09 Maret 2012

Hubungan Sikap Ibu Balita Dengan Perilaku Mengunjungi Posyandu di Kelurahan

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Perkembangan derajat kesehatan masyarakat dapat dilihat dari kejadian kematian dalam masyarakat dari waktu ke waktu. Di samping itu kejadian kematian juga digunakan sebagai indikator dalam penilaian keberhasilan pelayanan kesehatan dan program pembangunan kesehatan lainnya, seperti derajat kesehatan perorangan, kelompok maupun masyarakat yang digambarkan dengan umur harapan hidup, mortalitas, morbiditas dan status gizi masyarakat (Depkes RI, 2007).
Pembangunan kesehatan diarahkan untuk terciptanya kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk, agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagaimana tercantum pada pasal 3 Undang Undang No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan dan Dalam permenkes RI No. 741/menkes/per/VII/2008 tentang standar pelayanan minimal bidang kesehatan di kabupaten/kota pada bab 2 pasal 2 ayat 2a dijelaskan bahwa cakupan kunjungan ibu hamil k4 95 % pada tahun 2015, cakupan komplikasi kebidanan yang ditangani 80 % pada tahun 2015, cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan 90 % pada tahun 2015, cakupan pelayanan nifas 90 % pada tahun 201, cakupan neonatus dengan komplikasi yang ditangani 80 % pada tahun 2010, cakupan kunjungan bayi pada tahun 2010, cakupan desa/kelurahan universal child immunization 100 % pada tahun 2010, cakupan pelayan anak balita 90 % pada tahun 2010, cakupan pemberian makanan pendamping ASI pada anak usia 6 – 24 bulan 100 % pada tahun 2010, cakupan balita gizi buruk mendapat perawatan 100 % pada tahun 2010, cakupan peserta KB aktif 70 % pada tahun 2010, dengan melihat indikator di atas tentu hal ini akan membutuhkan suatu upaya-upaya yang strategis yang harus segera dilakukan secepatnya. Dan salah satunya adalah pemberdayaan masyarakat melalui Upaya Kesehatan bersumber Daya Masyarakat (UKBM) yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, guna memberdayakan masyarakat dan memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi yakni pos pelayanan terpadu (Posyandu) (Hasdi, 2008).
Tujuan utama pembangunan nasional adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang dilakukan secara berkelanjutan. Upaya peningkatan kualitas SDM dimulai dengan perhatian utama pada proses tumbuh kembang anak sejak pembuahan sampai dengan usia dewasa muda. Pada masa tumbuh kembang ini, pemenuhan kebutuhan dasar anak seperti perawatan dan makanan bergizi yang diberikan dengan penuh kasih sayang dapat membentuk SDM yang sehat, cerdas dan produktif (Radiansyah, 2007, dalam Octaviani,Juniarti dan Mardiyah,2008).
Salah satu upaya cukup penting terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah upaya peningkatan status gizi masyarakat. Status gizi masyarakat merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas hidup dan produktifitas kerja. Angka kematian yang tinggi pada bayi, anak balita, ibu melahirkan dan menurunnya daya kerja fisik, terganggunya perkembangan mental dan kecerdasan jika ditelusuri adalah akibat langsung maupun tidak langsung dari kekurangan gizi (Supariasa,2001, dalam Octaviana, Juniarti dam Mardiyah,2008).
Usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK) yang dilakukan selama ini dititikberatkan pada penggunaan pesan-pesan gizi sederhana melalui kegiatan yang dapat dilakukan masyarakat sendiri. Kegiatan tersebut dipusatkan di posyandu, yang merupakan UKBM (Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat) yang paling memasyarakat dewasa ini. Posyandu yang meliputi lima program prioritas yaitu : KB, KIA, Gizi, Imunisasi, dan penanggulangan diare dengan sasaran bayi, anak balita, pasangan usia subur dan ibu hamil. Penyuluhan kesehatan, pemberian makanan tambahan, tablet vitamin A dosis tinggi, pemberian oralit, dan terbukti mempunyai daya ungkit besar terhadap angka kematian bayi (Supariasa, 2001, dalam Octaviana, Juniarti dan Mardiyah,2008).
Menurut KEPMENKES RI No. 482/MENKES/SK/IV tahun 2010, data dari beberapa hasil survey menunjukkan bahwa akses masyarakat ke program imunisasi yang diukur dengan cakupan BCG dan DPT 1 sudah cukup baik, tetapi yang menjadi persoalan umumnya adalah tingginya angka drop out. Bayi yang sudah mendapat imunisasi pertama tidak melengkapi imunisasi dasarnya, contohnya 20 % drop out dari BCG ke DPT3, 18 % drop out dari DPT 1 ke DPT3 (Data Hasil Survey, 2007). Angka ini menggambarkan terdapat sekitar 1 juta bayi di Indonesia yang tidak mendapatkan imunisasi lengkap setiap tahunnya.
WHO (World Helath Organization) pada tahun 2008 menyatakan sampai saat ini Indonesia masih merupakan negara keempat terbesar di dunia dengan jumlah anak yang tidak mendapatkan imunisasi DPT 3. Hal ini mengakibatkan Indonesia menjadi salah satu negara prioritas yang diidentifikasi oleh WHO dan UNICEF (United Nations Emergency Childrens Fund) untuk melaksanakan akselerasi dalam mencapai target 100% UCI Desa atau Kelurahan. Universal Child Imunization (UCI) adalah suatu keadaan tercapainya imunisasi dasar secara lengkap pada semua bayi (anak dibawah umur 1 tahun) dan berdasarkan RPJMN (Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional) Pemerintah berkomitmen untuk mencapai 100% desa mencapai UCI pada tahun 2014.
Untuk mencapai target tersebut diperlukan suatu gerakan percepatan dari seluruh komponen masyarakat baik pemerintah, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) maupun swasta bersama-sama untuk menggerakkan masyarakat luas untuk berpartisipasi aktif mendorong ibu untuk membawa anaknya untuk mendapatkan imunisasi dasar lengkap (KEPMENKES RI No. 482/MENKES/SK/IV, 2010)
Namun demikian, ternyata masih banyak kontroversi dari faktor program imunisasi, vaksin atau resipien yang menerima imunisasi. Dimasyarakat sering terdengar pendapat yang salah mengenai imunisasi. Tidak jarang dijumpai orang tua yang ragu atau bahkan menolak imunisasi dengan berbagai alasan. Ketakutan dan penolakan imunisasi mungkin berdasarkan pandangan religi, filosofis tertentu, anggapan imunisasi sebagai intervensi pemerintah. Alasan lain adalah behubungan dengan keamanan dan efikasi vaksin atau pandangan bahwa penyakit yang dapat dicegah oleh vaksinasi tidak menimbulkan masalah kesehatan yang berbahaya (IDAI, 2008).
Posyandu merupakan salah satu pelayanan kesehatan di desa untuk memudahkan masyarakat untuk mengetahui atau memeriksakan kesehatan terutama untuk ibu hamil dan anak balita. Keaktifan keluarga pada setiap kegiatan posyandu tentu akan berpengaruh pada keadaan status gizi anak balitanya, Karena salah satunya tujuan posyandu adalah memantau peningkatan status gizi masyarakat terutama anak balita dan ibu hamil (Adisasmito, 2007, dalam Octaviana, Juniarti dan Mardiayah,2008).
Posyandu diselenggarakan terutama untuk melayani balita ( baik imunisasi maupun penimbangan berat badan) dan orang lanjut usia (Posyandu Lansia). Posyandu dicanangkan pada tahun 1986, lahir melalui Surat Keputusan Bersama antara Menteri Dalam Negeri RI, Menteri Kesehatan RI, dan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), yaitu SK Menteri Dalam Negeri No.23 Tahun 1985, SK Menteri Kesehatan No.21/Men.Kes/Inst.B./IV/1985, dan SK Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) No.112/HK-011/A/1985 tentang penyelenggaraan Posyandu (Ismawati,dkk, 2010).
Sejalan dengan otonomi daerah (desentralisasi pelayanan dasar) kehadiran posyandu semakin lama semakin berkurang tidak saja jumlahnya tetapi juga kegiatannya. Pernyataan otonomi menurunkan aktivitas posyandu ini didukung oleh Menkes Siti Fadilah. Masalah ini akhirnya disadari oleh pemerintah, dan mulai mengadakan program revitalisasi, seperti dalam ucapan pidato kenegaraan tahun 2006 oleh presiden bahwa "pemerintah akan terus berupaya, untuk meningkatkan pelayanan kesehatan, guna menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Kegiatan penyuluhan kesehatan, termasuk kegiatan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) juga mulai diaktifkan kembali. Hal ini sejalan dengan diterbitkannya Pedoman umum revitalisasi posyandu beberapa tahun yang lalu melalui surat edaran menteri dalam negeri dan otonomi daerah nomor : 411.3/1116/SJ tanggal 13 juni 2001 (Yuniardi dan Kristiani, 2009).



Legistimasi keberadaan Posyandu ini diperkuat kembali melalui Surat Edaran Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah tertanggal 13 Juni 2001 yang antara lain berisikan “Pedoman Umum Revitalisasi Posyandu”, yang antara lain meminta diaktifkannya kembali Kelompok Kerja Operasional (POKJANAL) Posyandu di semua tingkatan administrasi pemerintahan (Ismawati,dkk. 2010).
Menurut Tjipto Haryono (2005) Posyandu pada dasarnya merupakan salah satu wujud peran serta masyarakat dalam pembangunan, khusunya kesehatan dengan menciptakan kemampuan hidup sehat, bagi setiap penduduk dalam mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yg optimal. Untuk meningkatkan status kesehatan, khusunya melalui upaya system kesehatan, pemerintah telah menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang dikenal dengan puskesmas. Puskesmas merupakan pusat pelayanan kesehatan yang primer, yang dikembangkan dengan adanya posyandu, agar masyarakat mendapat pelayanan yang mudah dijangkau. Diaharapkan melalui Posyandu masyarakat mendapat pelayanan kesehatan yang  paripurna (Hartaty, Indirawaty dan Alias 2006).
Posyandu dari masyarakat untuk masyarakat dan oleh masyarakat sehingga menimbulkan rasa memiliki masyarakat terhadap upaya dalam bidang kesehatan dan keluarga berencana salah satunya perilaku ibu balita dalam mengunjungi posyandu (Ambarwati dan Rismintari, 2009).
Menurut Dep-Kes R.I (1994) dalam upaya pencapaian kemandirian masyarakat dibidang kesehatan, peran serta masyarakat sangat mutlak diperlukan terutama dalam penyelenggaraan upaya kesehatan yang mencakup upaya peningkatan (promotif), pencegahan (preventif), penyembuhan (kuratif) maupun pemulihan (rehabilitatif) baik secara tersendiri atau menyeluruh. Peran serta masyarakat erat kaitannya dalam pencapaian sumber daya manusia yang berkualitas. Untuk optimal perlu dilakukan upaya terarah dan berkelanjutan sejak janin masih dalam kandungan sampai usia lanjut. Untuk mendukung upaya tersebut salah satu cara yang digunakan adalah menanamkan kesadaran ibu-ibu dan anggota masyarakat lainnya terhadap pentingnya kesehatan anak dengan menggunakan posyandu sebagai sarana kesehatan (Hartaty, Indirawaty dan Alias 2006).
Kerap kali, sikap mengarah pada perilaku, tetapi sebaliknya, perilaku sering mengarah pada sikap yang cocok/sesuia dengan perilaku tersebut (Mar’at dan Kartono,2006).
Dari hasil pengamatan yang peneliti lakukan bahwa masih banyak ibu balita yang tidak mau membawa balitanya untuk Posyandu Pada tanggal 1 sampai 30 November  dari 59 Ibu hanya 32 ibu yang membawa Balitanya Untuk mengunjungi Posyandu. Terdapat beberapa kemungkinan yang dapat mempengaruhi perilaku ibu balita dalam melakukan kunjungan ke posyandu diantaranya sikap ibu balita itu sendiri.
Berdasarkan fenomena di atas, peneliti tertarik untuk meneliti tentang hubungan pengetahuan dan sikap ibu balita dengan perilaku mengunjungi posyandu di Wilayah Kerja Puskesmas Padang Bulan Kelurahan Merdeka Kecamatan Medan Baru”.

B.     Perumusan Masalah
Berdasarkan hal di atas penulis merumuskan masalah yaitu Bagaimanakah Hubungan Sikap Ibu Balita Dengan Perilaku Mengunjungi Posyandu Di Puskesmas Padang Bulan Kelurahan Merdeka Kecamatan Medan Baru.

C.  Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan sikap ibu balita dengan perilaku mengunjungi posyandu di Puskesmas Padang Bulan Kelurahan Merdeka Kecamatan Medan Baru.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi sikap ibu balita terhadap posyandu di Puskeesmas Padang Bulan Kelurahan Merdeka Kecamatan Medan Baru.
b. Mengidentifikasi status kunjungan posyandu pada balita (1-5 tahun) di Puskesmas Padang Bulan Kelurahan Merdeka Kecamatan Medan Baru.

D.  Manfaat Penelitian
       Penelitian ini bermanfaat antara lain bagi :
1.      Bagi Pelayanan Kebidanan
Hasil penelitian ini dapat menjadi sumber informasi bagi pelayanan kebidanan bahwa sikap ibu balita berhubungan dengan perilaku mengunjungi posyandu
2.      Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi masyarakat bahwa sikap ibu balita sangat berpengaruh terhadap perilaku mengunjungi posyandu.
3.      Bagi Pendidikan Kebidanan
Sebagai informasi bagi para mahasiswa kebidanan bahwa sikap ibu balita berhubungan dengan perilaku mengunjungi posyandu.

4.      Bagi Penelitian Kebidanan
Hasil penelitian dapat digunakan sebagai data dasar bagi peneliti lain yang melakukan penelitian sejenis atau lebih lanjut dengan tema yang sama.


Kamis, 08 Maret 2012

Hubungan Penatalaksanaan Bidan Tentang Manajemen Aktif Kala III Dengan Terjadinya Perdarahan Postpartum Di Wilayah Kerja Puskesmas

ABSTRAK
Perdarahan postpartum paling sering diartikan sebagai keadaan kehilangan darah lebih dari 500 ml (mililiter) selama 24 jam pertama sesudah kelahiran bayi. Manajemen aktif kala III adalah berkontraksinya otot uterus mengikuti penyusutan volume rongga uterus setelah lahirnya bayi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan penatalaksanaan manajemen aktif kala III dengan terjadinya perdarahan postpartum di wilayah kerja Puskesmas Polonia Medan Tahun 2011.
Jenis penelitian adalah deskriftif kolerasi dengan pendekatan cross sectional. Lokasi penelitian di wilayah kerja Puskesmas Polonia Medan.Waktu penelitian dilakukan pada bulan Juli 2011. Populasi adalah semua bidan yang bekerja di wilayah kerja Puskesmas Polonia Medan adalah sebanyak 32 bidan periode Januari-Maret 2011 menggunakan tottal sampling. Data responden diperoleh menggunakan lembar observasi yang dibuat oleh peneliti berdasarkan literatur yang ada. Analisa data dilakukan data univariat dan data bivariat chi-square.
Hasil penelitian hubungan penatalaksanaan manajemen aktif kala III dengan terjadinya perdarahan postpartum di wilayah kerja Puskesmas Polonia Medan Tahun 2011, Ada hubungan Penyuntikan oksitosin dengan perdarahan postpartum. Ada hubungan Peregangan tali pusat terkendali dengan perdarahan postpartum. Ada hubungan massase uterus dengan perdarahan postpartum di Wilayah Kerja Puskesmas Polonia Medan Tahun 2011
Kepada Bidan maupun kesehatan lainnya agar lebih dipromosikan lagi tentang manajemen aktif kala III dan manfaatnya.

Kata kunci : Manajemen aktif kala III, perdarahan postpartum
Daftar pustaka : 20 (2003-2011)



BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Perdarahan postpartum paling sering diartikan sebagai keadaan kehilangan darah lebih dari 500 ml (mililiter) selama 24 jam pertama sesudah kelahiran bayi. Banyak faktor yang mempunyai arti penting dalam menimbulkan terjadinya perdarahan postpartum yang dini maupun lanjut. Penyebab perdarahan postpartum dini adalah atonia uteri atau laserasi jalan lahir. Retensi bagian plasenta atau seluruh plasenta dapat mengakibatkan keduanya dan merupakan penyebab terjadinya perdarahan pasca persalinan dan kematian maternal (Metta,dkk. 2008).
Persalinan kala III merupakan tahap yang berbahaya bagi ibu karena dapat terjadi perdarahan postpartum yang merupakan penyebab kematian ibu. Kesalahan penatalaksanaan manajemen aktif kala III dapat meningkatkan resiko perdarahan (Johnson, 2005 ).
Manajemen aktif kala III adalah berkontraksinya otot uterus mengikuti penyusutan volume rongga uterus setelah lahirnya bayi. Tujuan manajemen aktif kala III adalah untuk menghasilkan kontraksi uterus yang lebih efektif sehingga dapat mempersingkat waktu pengeluaran plasenta, mencegah perdarahan dan mengurangi kehilangan darah kala III persalinan jika dibandingkan dengan penatalaksanaan fisiologis (Wiknjosastro, 2007).
Manajemen aktif kala III lebih dikaitkan pada upaya untuk mengurangi kehilangan darah seperti yang terjadi pada penatalaksanaan fisiologis. Sebagian besar kematian akibat perdarahan pasca persalinan terjadi pada beberapa jam pertama kelahiran bayi. Karena alasan ini, penatalaksanaan kala III persalinan yang cepat dan tepat merupakan salah satu cara terbaik dan sangat penting untuk menurunkan angka kematian ibu         (Wiknjosastro , 2007 ).
Derajat kesehatan ibu di Indonesia memang membaik apabila dilihat dari Angka Kematian Ibu yang terus menurun, dari 307/100.000 kelahiran hidup menjadi adalah 228/100.000 kelahiran hidup. Akan tetapi hasil ini hasil nasional karena apabila dicermati terdapat kesenjangan yang cukup besar antar daerah di Indonesia, tercermin dari persentase persalinan oleh tenaga kesehatan terampil yang merupakan indikator proksi paling sensitif dari kematian ibu, karena berdasar hasil penelitian di berbagai negara, terdapat korelasi yang erat antara persalinan oleh tenaga kesehatan dengan angka kematian ibu. Menurut data yang dihimpun dari laporan Dinas Kesehatan Provinsi pada tahun 2008, rata-rata nasional persalinan oleh nakes mencapai 80,73 %, paling rendah terdapat di Provinsi Papua yang hanya mencapai 29,63 % sedangkan tertinggi ada di Provinsi Bali yang sudah mencapai   97,61 %. (Imran, 2010 ).

Sebagian besar kasus perdarahan postpartum terjadi selama persalinan kala III. Selama jangka waktu tersebut, otot-otot rahim berkontraksi dan plasenta mulai memisahkan diri dari dinding rahim. Jumlah darah yang hilang tergantung pada seberapa cepat hal ini terjadi. Persalinan kala III biasanya berlangsung antara 5 menit sampai 15 menit. Bila lewat dari 30 menit, maka persalinan kala III dianggap panjang, lama yang berarti menunjukkan adanya masalah potensial. Bilamana rahim lemah dan tidak dapat berkontraksi secara normal, maka pembuluh darah di daerah plasenta tidak terjepit dengan cukup, hal ini mengakibatkan perdarahan yang berat              (DepKes RI,2004).
Dalam persalinan yang bersih dan aman, manajemen aaktif kala tiga sudah seharusnya merupakan prosedur standar dalam upaya untuk pencegahan perdarahan pascapersalinan ( Saifuddin, 2006 )
Perdarahan post partum merupakan penyebab kematian maternal terbanyak. WHO menunjukkan bahwa 25 % kematian maternal disebabkan karena perdarahan. Angka kematian ibu bersalin skala nasional berkisar 307 per 100.000 kelahiran hidup. Di Kabupaten Jepara dari 24 kematian ibu bersalin tahun 2009, 4 orang (16.6 %) karena perdarahan. Fenomena tersebut karena ibu post partum masih menganut perilaku, kaidah, norma serta tradisi budaya di masyarakat yang bertentangan dengan standar asuhan keperawatan ibu paska bersalin ( Arif K. 2010 )
Fatmah, ketua prodi Kesehatan Masyarakat FKM UMI Makassar dalam penelitiannya tahun 2009 ditemukan bahwa Respon kebijakan pemerintah Departemen Kesehatan terhadap masih tingginya angka kematian ibu adalah dalam bentuk Rencana Strategis Nasional yakni dokumen MPS (Making Pregnancy Safer) tahun 2010. Dalam Rencana Strategis Nasional MPS, fokus program intervensi klinik melalui peningkatan pelayanan komplikasi obstetri dan neonatal. Pelayanan obstetri dan neonatal minimal pada 4 puskesmas per kabupaten/ kota dan emergensi komprehensif di setiap RS provinsi dan kabupaten/ kota. Dokumen ini, oleh sebagian kalangan dianggap komprehensif namun lemah dari segi implementasi di daerah karena faktor desentralisasi kesehatan yang terkait dengan distribusi tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan yang belum merata (Fatmah, 2009).
Dalam penelitian bidang Prevention of Postpartum Hemorrhage Intervention tahun 2006 tentang praktik manajemen aktif kala tiga  (Active Management of Third Stage of Labor/ AMTSL) di 20 rumah sakit di Indonesia menunjukkan bahwa hanya 30% rumah sakit melaksanakan hal tersebut. Hal ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan praktik manajemen aktif di tingkat pelayanan kesehatan primer Bidan Praktek Swasta (BPS) atau Ruang Bersalin di daerah intervensi Asuhan Persalinan Normal                 (Kabupaten Kuningan dan Cirebon) dimana 70% melaksanakan manajemen aktif kala tiga bagi ibu-ibu bersalin yang ditangani (Wiknjosastro ,2007 )
Di Indonesia, sebagian besar persalinan terjadi tidak di Rumah Sakit, sehingga sering pasien yang bersalin di luar kemudian mengalami perdarahan postpartum dan terlambat smpai ke Rumah Sakit, saat datang keadaan umum/hemodinamiknya sudah memburuk, akibatnya mortalitas tinggi. ( Akhyar.2008)
Manajemen aktif kala III terdiri dari 3 langkah utama yaitu: pemberian suntikan oksitoksin dalam 1 menit pertama setelah bayi lahir, melakukan penegangan tali pusat terkendali dan masase fundus uteri (Wiknjosastro , 2007).
Menurut Abdul Hadi dalam penelitiannya terdapat 80 bidan yang diobservasi di klinik atau praktek bidan di Kodya Medan, dimana didapatkan 11 bidan (14%) yang melaksanakan manajemen aktif kala tiga sesuai dengan kriteria, dan 69 bidan (86%) melaksanakan manajemen aktif kala tiga tidak sesuai dengan kriteria. Adapun kriteria yang digunakan dalam penelitian ini adalah kriteria yang sesuai dengan Asuhan Persalinan Normal (Abdul, 2008).
Dari latar belakang diatas, maka penulis tertarik mengambil judul ‘’Hubungan Penatalaksanaan Bidan Tentang Manajeman Aktif kala III dengan Terjadinya Perdarahan Postpartum di Wilayah Kerja Puskesmas Polonia Medan Tahun 2011’’.



1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan hal di atas penulis merumuskan  masalah yaitu Bagaimanakah Hubungan Penatalaksanaan Bidan Tentang  Manajemen Aktif Kala III dengan Terjadinya Perdarahan Postpartum di Wilayah Kerja Puskesmas Polonia Medan Tahun 2011.

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1     Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan penatalaksanaan bidan tentang  manajemen aktif kala III dengan terjadinya perdarahan postpartum di wilayah kerja Puskesmas Polonia Medan Tahun 2011.
1.3.2     Tujuan Khusus
1.  Untuk mengetahui hubungan pemberian oksitosin pada kala III persalinan dengan terjadinya perdarahan postpartum di wilayah kerja Puskesmas Polonia Medan Tahun 2011.
2.  Untuk mengetahui hubungan peregangan tali pusat terkendali pada kala III persalinan dengan terjadinya perdarahan postpartum di wilayah kerja Puskesmas Polonia Medan Tahun 2011.
3.  Untuk mengetahui hubungan masase fundus uteri pada kala III persalinan dengan terjadinya perdarahan postpartum di wilayah kerja Puskesmas Polonia Medan Tahun 2011.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1     Manfaat secara teoritis
Menambah pengetahuan tentang hubungan penatalaksanaan bidan tentang manajemen aktif kala III dengan tarjadinya perdahan postpartum.
1.4.2     Manfaat secara praktis
Sebagai bahan masukan yang dapat menambah pengetahuan para petugas tenaga kesehatan tentang hubungan penatalaksanaan bidan tentang  manajemen aktif kala III dengan terjadinya perdarahan postpartum. Dan sumbangan pemikiran perkembangan ilmu pengetahuan dan penelitian kesehatan tentang hubungan penatalaksanaan bidan tentang  manajemen aktif kala tiga dengan terjadinya perdarahan postpartum.